Selasa, 08 Mei 2018

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK MENURUT PIAGET DAN VYGOTSKY


A.    TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Menurut Makmun, (2014:73-75) Teori kosntruktivisme didefenisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generative, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori bahavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada penegtahuan sesuai dengan pengalamanya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan penetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai sesuatu keseimbangan sehingga berbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan nilai penting, tetapi roses yang melibatkan cara dan strategis dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategis belajar akan mempegaruhi perkembangan tata dan skema berpikir seseorang.

Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa “mengkonstruksi” atau membangun pemahamanya terhadap fenomena yang ditemui  dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi penetahuan melalui pengalaman. Penegtahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkostruksi pengetahuan itu oleh setiap individu. Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun penegtahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan iti oleh setipa individu akan meberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setian individu.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1.      Adanya motivasi untuk peserta didik bahwa belajar adalah tanggung jawab peserta didik itu sendiri.
2.      Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya.
3.      Membantu peserta  didik untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4.      Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjaadi pemikir yang mandiri.
5.      Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Ciri-ciri Perkembangan Secara Konstruktivisme
Menurut Makmun, (2014:76-77) Adapun cirri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme adalah :
1.      Member peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya,
2.      Mengalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.      Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4.      Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
5.      Mengalakkan dan menerima daya usaha dan autonomi murid.
6.      Mengalakan murid bentanya dan berdialog dengan murid dan guru.
7.      Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.      Mengalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
Prinsip-prinsip Teori Belajar Konstrutivisme
Menurut  Makmun, (2014:77-78) Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah :
1.      Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri.
2.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik kepeserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri vuntuk menalar.
3.      Peserta didik aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.      Pendidik sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi lancer.
5.      Menghadapi masalah yang relavan dengan peserta didik.
6.      Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7.      Mencari dan menilai pendapat peserta didik.
8.      Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah pendidik tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang mebuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relavan bagi peserta didik, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak peserta didik agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Pendidik dapat memberikan tangga kepada peserta didik yang mana tangga itu nantiknya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai itu penemuan.
Hakikat Anak Menurut Teori belajar Konstruktivisme
Menurut Poedjiadi (1999) dalam Makmun, (2014:78) Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasof oleh seseorang, melainkan melalaui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak tergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkunganya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses kesinambungan tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan.
Dari pandangan piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonsruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak berkaitan dengan anaka dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme.
Menurut Driver dan Bell  (Susan, Marilyn dan Tony, 1995 ) dalam Makmun, (2014:78) mengajukan karakteriktik sebagai berikut :
1.      Peserta didik tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.      Belajar mempertimbangankan seoptimal mungkin proses keterlibatan peserta didik.
3.      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.      Pembelajaran bukanlah tramisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.      Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan pembelajaran, materi, dan sember.
Menurut Hudayo (dalam Makmun, 2014:78) Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivitik yang lebih mutahir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangan sketma sehingga pengetahuan terkait bahaikan jarring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa belajar adalah sesuatu aktivistas yang berlangsung  secara interaktif antara factor intern pada diri pembelajar dengan factor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Menurut Makmun, (2014:79) berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitanya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembangn mental. Ruseffendi (1988) mengemukkan: perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, tahap-tahap tersebut didefenisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibtation) , proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Menurut Poedjiadi (dalam Makmun, 2014:79) Berbeda debgan kontruktivisme kognitif ala piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangan oleh vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih muda diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang.dalam penjelasan lain Tanjung (dalam Makmun, 2014:79) mengatakan bahwa inti konstrukivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekananya pada lingkungan sosial dalam belajar.
            Kelebihan Dan Kelemahan Teori Konstruktivik
Kelebihan
1.      Berpikir: dalam proses mebina penegtahuan baru, peserta didik berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjaring idea dan mebuat keputusan.
2.      Mengerti: oleh karena peserta didik terlibat secara langsung dalam mebina penegtahuan baru, mereka akan lebih mengerti dan dapat mengaplikasikannya dalam semua situasi.
3.      Ingat: oleh karena peserta didik terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakni peserta didik melalui pendekatan ini membina sendiri pengertian mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4.      Kemahiran sosal: kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan guru dalam membina pengetahuan baru.
5.      Semangat: oleh karena mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan aktif, maka mereka akan semangat belajar dalam membina pengetahuan baru.
Kelemahan
Dalam bahasa kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa dilihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.

B.     TEORI PERKEMBANGAN KONSTRUKTIVISME
Menurut Slavin (1994:225) dalam Trianto (2010:74-75) Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mestraformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siwa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk diriknya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mebangun sendiri pengetahuan dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar mengunakan strategis mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat member siswa anak tangga yang membawa siswa kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya.
Esensi dari konstruktivis adalah ide bahwa harus siswa sendiri yang menemukan dan mentransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila mereka menginginkan ininformasi itu menjadi miliknya. Konstruktivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan kongnitif merupakan suatu proses dimana secara aktif membangun sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi mereka. Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus-menerus mengasimlasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain konstruktivisme  adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang  realita.
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran menerapkan pengajaran kooperatif secara interaktif, atas dasar teori ini bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temanya. Contoh aplikasi pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran adalah siswa belajar bersama dalam kelpmpok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa, campuran siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Siswa dapat berada dalam kempoknya selama beberapa minggu. Mereka mengajarkan keterampilkan khus agar dapat bekerja sama dengan baik didalam kelompoknya, selama kerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketutasanya materi yang ditugaskan guru dan saling membantu teman sekelompoknya mencapai ketutasan belajar. Pada saat siswa sedang berkerja dalam kelompok guru berkeliling memberikan pujian kepada kelompok yang sedang berkerja dengan baik, dan memberikan bimbingan kepada kelompok yang mengalami kesulitan.
Berpijak pada uraian diatas, maka pada dasarnya aliran konstruktivisme menghendaki bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna. Belajar bermakna tidak akan terwujud  hanya dengan mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang lain.
Para ahli konstruktivis beranggapan bahwa satu-satunya alat yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu inderanya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkunganya dengan melihatnya, mendengar, mencium, menjamah, dan merasakan. Hal ini menampakkan bahwa pengetahuan lebih menunjukak pada pengalaman seseorang  akan dunia daripada dunia itu sendiri.
Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme menurut suparno (1997:73) (dalam Trianto, 2010:75-76), antara lain:
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif,
2.      Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa,
3.      Mengajar adalah membantu siswa belajar,
4.      Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir,
5.      Kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan
6.      Guru secara fasilitator.
Secara umum, prinsip-prinsip tersebut berperan sebagai referensi dan ada refleksi kritis terhada praktik, pembaruan, dan perencanaan pendidikan.

C.     TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME JEAN PIAGET
Ahli psikologi kognitif yang paling terkemuka ini Jean Piaget, melihat kanak-kanak sebagai murid aktif yang belagak seperti “saintis kecil”. Mereka membina teori sendiri tentang bagaimana dunia berfungsi dan mencari jalan untuk mengesahkan hati nurani ini. Penyelidikan Piaget tertumpu kepada bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan, yang biasanya dipanggil sebagai “soalan epistemology”. Piaget berpendapat bahawa di sepanjang hayat, manusia melalui satu urutan empat peringkat. Pemikiran secara kualitatif.
Menurut Eveline Siregar dan Hartini Nara (2014:39) Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman yang baru.  Sedikit berbeda dengan para pendahulunya, Lorsbach dan Tobin (1992), mengemukakan bahwa pengetahuan ada dalam diri seseorang yang mengetahui, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada yang laian. Siswa sendiri yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan konstruksi yang telah dibangun sebelumya.
Bayi memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman sensori penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa dan bau. Kanak-kanak prasekolah berkembang daripada peringkat memperoleh ilmu pengetahuan tentang dunia melalui persepsi mereka terhadap pengalaman sendiri di dunia. Kanak-kanak yang lebih dewasa mula mengaplikasikan peraturan logik untuk memahami bagaimana dunia berfungsi.
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
      a)    Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan skemata.
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
      b)   Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
      c)    Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
      d)   Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

D.    TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME VYGOTSKY
Menurut Trianto (2010:76-77) Teori Vygotsky merupakan salah satu teori penting dalam psikologi perkembangan. Vygotsky menekankan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menagani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam zone of proximal development. Contoh dalam pembelajaran, yaitu ketika akan mengajarkan materi hukum pembiasaan cahaya, siswa harus memiliki persyaratan pengetahuan yang berkaitan dengan cahaya, siswa harus memiliki prasyarat pengetahuan yang berkaitan dengan homogeny adalah lurus, siswa dapat memberikan contoh-contoh pembiasan dan pemantulan cahaya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki prasyaratan pengetahuan seperti itu, maka dalam menyampaikan materi hukum pembiasan cahaya akakn lebih mudah dipahami siswa, disamping pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa tersebut.
Menurut Slavin, 1994:49 (dalam Trianto, 2010:76) Zone of proximal development adalah perkembangan sedikit diatas perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerja sama antar individu, sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Ide penting lain yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah  scaffolding. Scaffolding berakti memberikan sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, ataupun yang lain sehingga memungkinkan siswa tumbuh mandiri. Contoh dalam pembelajaran adalah pada pembelajaran eksperimen untuk membuktikan hukum pemantulan cahaya, guru dapat memberikan bantuan kepada siswa berupan penjelasan tentang langkah-langkah pelaksanaan eksperimen, atau bantuan berupa diskusi tentang rangkuman materi yang terkait dengan pemantulan cahaya.
Ada dua aplikasi utama teori Vygotsky dalam pembelajaran sains. Pertama, dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif didalam masing-masing zone of proximal development mereka. Kedua, pendektan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding  sehingga siswa semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.

E.     PROSES BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Menurut Asri Budiningsih (2012:58-61) Proses belajar konstruktivistik  secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada permutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “.....constructing and restructuring of knowledge and skiils (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency..... “. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainnya.
Peranan siswa, menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan . pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menetukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan guru, dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi,
1.    Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.    Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
3.    Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajara agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar, pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan unntuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, madiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertangguung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar, pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interprestasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar anatara pandangan behavioristik (tradisional ) yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan pengertian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalh obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterprestasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada siswanya.
Pandangan konstuktivistik mengemukakan bhwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengonstruksi dan menginterprestasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarah perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonsrtuksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterprestasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterprestasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interprestasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterprestasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal .
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. sedangkan pandangan konsrtuktivistik  menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak di beri informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemebrian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga kan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaliuasi ynag menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinngi seperti tingkat penemuan pada taksoionomi Merrill, atau strategi kognitif dari Gagne serta sintesis pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

F.        PERBANDINGAN PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
Menurut Asri (2012:62-24) Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan urutan isi teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interprestasi diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapai buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau kosep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku., dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan betuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan menstransformasi  informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuktur struktur kognitif baru pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan degan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.


Secara rinci perbedaaan karakteristik anatara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut.

Pembelajaran Behavioristik
Pembelajaran Konstruktivistik
1.    Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju ke seluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.
1)     Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas
2.    Pembelajara sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
2)     Pembelajaran lebih menghargai pada pemuculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3.    Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
3)      Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.    Siswa-siwa dipandang sebagai kertas kosong yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
4)      Siswa dipandang sebagai pemikir yang dapat memunculkan teori–teori tentang dirinya.
5.    Penilaian hasi belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebaga bagian dari pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
5)     Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.    Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
6)     Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang kami dapat setelah membaca dam menulis makalah ini dapat kami simpulkan bahwa:
`1. Teori kosntruktivisme didefenisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generative, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
2. Proses pengontruksi teori belajar konstruktivisme menurut Piaget terbagi menjadi 4 yaitu : skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.
3. Menurut Vygotsky ada 2 aplikasi teori belajar konstruktivisme Pertama, dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif didalam masing-masing zone of proximal development mereka. Kedua, pendektan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding  sehingga siswa semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.


B.     Saran
Pada makalah ini kami kelompok 7 menyadari banyak nya kekurangan dalam penulisan makalah maka dari itu kami meminta ada nya saran dan kriktik dari pembaca. Saran kami mengenai makalah ini bahwa  pada proses belajar Teori Konstruktivisme lebih banyak memakan waktu dan siswa dituntun untuk mencari bahan-bahan sendiri dalam proses belajar, dan kurang adanya dukungan dari guru.




DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih Asri. 2012. Belajar & Pembelajaran. Rineka Cipta: Jakarta.
Khairani Makmun. 2014. Psikologi Belajar. Aswaja Pressindo: Yokyakarta.
Siregar Eveline dan Nara Hartini. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Ghalia Indonesia: Bogor. 
Triantio. 2010. Model Pembelajaran Terpadu : Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bumi Aksara: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar