A.
TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Menurut Makmun,
(2014:73-75)
Teori kosntruktivisme didefenisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generative, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Beda dengan teori bahavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan
yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori
konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada penegtahuan sesuai dengan
pengalamanya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain,
karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan
penetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan
akomodasi untuk mencapai sesuatu keseimbangan sehingga berbentuk suatu skema
yang baru.
Teori
konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada
proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan nilai penting, tetapi roses
yang melibatkan cara dan strategis dalam belajar juga dinilai penting. Dalam
proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategis belajar akan
mempegaruhi perkembangan tata dan skema berpikir seseorang.
Sebagai upaya memperoleh pemahaman
atau pengetahuan, siswa “mengkonstruksi” atau membangun pemahamanya terhadap
fenomena yang ditemui dengan menggunakan
pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut
teori konstruktivisme bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses
mengkonstruksi penetahuan melalui pengalaman. Penegtahuan bukanlah hasil
“pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkostruksi pengetahuan itu oleh setiap individu. Pengetahuan hasil dari
“pemberian” tidak akan bermakna. Adapun penegtahuan yang diperoleh melalui
proses mengkonstruksi pengetahuan iti oleh setipa individu akan meberikan makna
mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setian individu.
Adapun tujuan dari teori ini adalah
sebagai berikut:
1.
Adanya motivasi untuk peserta didik
bahwa belajar adalah tanggung jawab peserta didik itu sendiri.
2.
Mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya.
3.
Membantu peserta didik untuk mengembangkan pengertian dan
pemahaman konsep secara lengkap.
4.
Mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk menjaadi pemikir yang mandiri.
5.
Lebih menekankan pada proses belajar
bagaimana belajar itu.
Ciri-ciri
Perkembangan Secara Konstruktivisme
Menurut Makmun, (2014:76-77)
Adapun cirri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme adalah :
1.
Member peluang kepada murid membina
pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya,
2.
Mengalakkan soalan/idea yang dimulakan
oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.
Menyokong pembelajaran secara koperatif
mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4.
Mengambil kira dapatan kajian bagaimana
murid belajar sesuatu ide.
5.
Mengalakkan dan menerima daya usaha dan
autonomi murid.
6.
Mengalakan murid bentanya dan berdialog
dengan murid dan guru.
7.
Menganggap pembelajaran sebagai suatu
proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.
Mengalakkan proses inkuiri murid melalui
kajian dan eksperimen.
Prinsip-prinsip
Teori Belajar Konstrutivisme
Menurut Makmun, (2014:77-78)
Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam
belajar mengajar adalah :
1.
Pengetahuan dibangun oleh peserta didik
sendiri.
2.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
pendidik kepeserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri vuntuk
menalar.
3.
Peserta didik aktif mengkontruksi secara
terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.
Pendidik sekedar membantu menyediakan
saran dan situasi agar proses kontruksi lancer.
5.
Menghadapi masalah yang relavan dengan
peserta didik.
6.
Struktur pembelajaran seputar konsep
utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7.
Mencari dan menilai pendapat peserta
didik.
8.
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi
anggapan peserta didik.
Dari semua itu hanya ada satu
prinsip yang paling penting adalah pendidik tidak boleh hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus membangun pengetahuan
didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang mebuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat
relavan bagi peserta didik, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak peserta
didik agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Pendidik dapat memberikan tangga kepada peserta didik yang mana tangga
itu nantiknya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai itu penemuan.
Hakikat
Anak Menurut Teori belajar Konstruktivisme
Menurut Poedjiadi (1999) dalam
Makmun, (2014:78) Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasof oleh seseorang,
melainkan melalaui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak tergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkunganya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses kesinambungan
tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan.
Dari pandangan piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonsruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual
anak berkaitan dengan anaka dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme.
Menurut Driver dan Bell (Susan, Marilyn dan Tony, 1995 ) dalam
Makmun, (2014:78) mengajukan
karakteriktik sebagai berikut :
1.
Peserta didik tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.
Belajar mempertimbangankan seoptimal
mungkin proses keterlibatan peserta didik.
3.
Pengetahuan bukan sesuatu yang datang
dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.
Pembelajaran bukanlah tramisi pengetahuan,
melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.
Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,
melainkan pembelajaran, materi, dan sember.
Menurut Hudayo (dalam Makmun, 2014:78)
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivitik yang lebih mutahir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif
untuk mengembangan sketma sehingga pengetahuan terkait bahaikan jarring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.
Dari pengertian diatas, dapat
dipahami bahwa belajar adalah sesuatu aktivistas yang berlangsung secara interaktif antara factor intern pada
diri pembelajar dengan factor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan
perubahan tingkah laku.
Menurut Makmun, (2014:79)
berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitanya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembangn mental. Ruseffendi (1988) mengemukkan: perkembangan intelektual
terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi urutan yang sama.
Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan
urutan yang sama, tahap-tahap tersebut didefenisikan sebagai suatu cluster dari
operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan
gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibtation)
, proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Menurut Poedjiadi (dalam Makmun,
2014:79) Berbeda
debgan kontruktivisme kognitif ala piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangan oleh vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih muda diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang.dalam
penjelasan lain Tanjung (dalam Makmun, 2014:79)
mengatakan bahwa inti konstrukivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek
internal dan ekternal yang penekananya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Kelebihan Dan Kelemahan Teori Konstruktivik
Kelebihan
1.
Berpikir: dalam proses mebina
penegtahuan baru, peserta didik berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjaring
idea dan mebuat keputusan.
2.
Mengerti: oleh karena peserta didik
terlibat secara langsung dalam mebina penegtahuan baru, mereka akan lebih mengerti
dan dapat mengaplikasikannya dalam semua situasi.
3.
Ingat: oleh karena peserta didik
terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep. Yakni peserta didik melalui pendekatan ini membina sendiri pengertian
mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam
situasi baru.
4.
Kemahiran sosal: kemahiran sosial
diperoleh apabila berinteraksi dengan guru dalam membina pengetahuan baru.
5.
Semangat: oleh karena mereka terlibat
secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan aktif, maka
mereka akan semangat belajar dalam membina pengetahuan baru.
Kelemahan
Dalam bahasa kekurangan atau
kelemahan ini mungkin bisa dilihat dalam proses belajarnya dimana peran guru
sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.
B. TEORI
PERKEMBANGAN KONSTRUKTIVISME
Menurut Slavin (1994:225) dalam Trianto (2010:74-75) Teori pembelajaran konstruktivisme
merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang
menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mestraformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya
apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siwa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan
masalah, menemukan sesuatu untuk diriknya, berusaha dengan susah payah dengan
ide-ide.
Menurut teori ini, satu prinsip paling
penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mebangun sendiri pengetahuan
dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan
siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan
membelajarkan siswa dengan secara sadar mengunakan strategis mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat member siswa anak tangga yang membawa siswa
kepemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus
memanjatnya.
Esensi dari konstruktivis adalah ide bahwa
harus siswa sendiri yang menemukan dan mentransformasikan sendiri suatu
informasi kompleks apabila mereka menginginkan ininformasi itu menjadi
miliknya. Konstruktivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa
perkembangan kongnitif merupakan suatu proses dimana secara aktif membangun
sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi
mereka. Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun
pengetahuan dengan cara terus-menerus mengasimlasi dan mengakomodasi informasi
baru, dengan kata lain konstruktivisme
adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa
dalam membangun pemahaman mereka tentang
realita.
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran
menerapkan pengajaran kooperatif secara interaktif, atas dasar teori ini bahwa
siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila
mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temanya. Contoh
aplikasi pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran adalah siswa belajar
bersama dalam kelpmpok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas
disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa, campuran siswa berkemampuan
tinggi, sedang, dan rendah. Siswa dapat berada dalam kempoknya selama beberapa
minggu. Mereka mengajarkan keterampilkan khus agar dapat bekerja sama dengan
baik didalam kelompoknya, selama kerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok
adalah mencapai ketutasanya materi yang ditugaskan guru dan saling membantu
teman sekelompoknya mencapai ketutasan belajar. Pada saat siswa sedang berkerja
dalam kelompok guru berkeliling memberikan pujian kepada kelompok yang sedang
berkerja dengan baik, dan memberikan bimbingan kepada kelompok yang mengalami
kesulitan.
Berpijak pada uraian diatas, maka pada
dasarnya aliran konstruktivisme menghendaki bahwa pengetahuan dibentuk sendiri
oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna.
Belajar bermakna tidak akan terwujud
hanya dengan mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman
orang lain.
Para ahli konstruktivis beranggapan bahwa
satu-satunya alat yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu
inderanya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkunganya dengan
melihatnya, mendengar, mencium, menjamah, dan merasakan. Hal ini menampakkan
bahwa pengetahuan lebih menunjukak pada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri.
Prinsip-prinsip yang sering diambil dari
konstruktivisme menurut suparno (1997:73) (dalam Trianto, 2010:75-76), antara lain:
1.
Pengetahuan
dibangun oleh siswa secara aktif,
2.
Tekanan
dalam proses belajar terletak pada siswa,
3.
Mengajar
adalah membantu siswa belajar,
4.
Tekanan
dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir,
5.
Kurikulum
menekankan partisipasi siswa, dan
6.
Guru
secara fasilitator.
Secara umum, prinsip-prinsip tersebut
berperan sebagai referensi dan ada refleksi kritis terhada praktik, pembaruan,
dan perencanaan pendidikan.
C.
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME JEAN PIAGET
Ahli psikologi kognitif
yang paling terkemuka ini Jean Piaget, melihat kanak-kanak sebagai murid
aktif yang belagak seperti “saintis kecil”. Mereka membina teori sendiri
tentang bagaimana dunia berfungsi dan mencari jalan untuk mengesahkan hati
nurani ini. Penyelidikan Piaget tertumpu kepada bagaimana manusia memperoleh
ilmu pengetahuan, yang biasanya dipanggil sebagai “soalan epistemology”. Piaget
berpendapat bahawa di sepanjang hayat, manusia melalui satu urutan empat
peringkat. Pemikiran secara kualitatif.
Menurut Eveline Siregar
dan Hartini Nara (2014:39) Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalamannya, proses
pembentukan berjalan terus menerus dan setiap kali terjadi rekonstruksi karena
adanya pemahaman yang baru. Sedikit
berbeda dengan para pendahulunya, Lorsbach dan Tobin (1992), mengemukakan bahwa
pengetahuan ada dalam diri seseorang yang mengetahui, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada yang laian. Siswa sendiri
yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan konstruksi yang telah
dibangun sebelumya.
Bayi memperoleh ilmu
pengetahuan berdasarkan pengalaman sensori penglihatan, pendengaran, sentuhan,
rasa dan bau. Kanak-kanak prasekolah berkembang daripada peringkat memperoleh
ilmu pengetahuan tentang dunia melalui persepsi mereka terhadap pengalaman
sendiri di dunia. Kanak-kanak yang lebih dewasa mula mengaplikasikan peraturan
logik untuk memahami bagaimana dunia berfungsi.
Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran
menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a) Skemata
Sekumpulan
konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut
dengan skemata.
Sejak
kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema (schema).
Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing
dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat
menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci
berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif
anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua.
Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses
penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b) Asimilasi
Asimilasi adalah
proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri
dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
c) Akomodasi
Dalam
menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d) Keseimbangan
Ekuilibrasi
adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi
adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi,
ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur
dalamnya.
D. TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISME VYGOTSKY
Menurut Trianto (2010:76-77)
Teori Vygotsky merupakan salah satu teori penting dalam psikologi perkembangan.
Vygotsky menekankan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Menurut
Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menagani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas itu masih berada dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam zone of proximal development. Contoh dalam pembelajaran, yaitu
ketika akan mengajarkan materi hukum pembiasaan cahaya, siswa harus memiliki
persyaratan pengetahuan yang berkaitan dengan cahaya, siswa harus memiliki
prasyarat pengetahuan yang berkaitan dengan homogeny adalah lurus, siswa dapat
memberikan contoh-contoh pembiasan dan pemantulan cahaya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan memiliki prasyaratan pengetahuan seperti itu, maka dalam menyampaikan
materi hukum pembiasan cahaya akakn lebih mudah dipahami siswa, disamping
pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa tersebut.
Menurut Slavin, 1994:49
(dalam Trianto, 2010:76) Zone of proximal
development adalah perkembangan sedikit diatas perkembangan seseorang saat
ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul
dalam percakapan atau kerja sama antar individu, sebelum fungsi mental yang
lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Ide penting lain
yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding berakti memberikan sejumlah besar bantuan kepada
seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat
melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh,
ataupun yang lain sehingga memungkinkan siswa tumbuh mandiri. Contoh dalam
pembelajaran adalah pada pembelajaran eksperimen untuk membuktikan hukum
pemantulan cahaya, guru dapat memberikan bantuan kepada siswa berupan
penjelasan tentang langkah-langkah pelaksanaan eksperimen, atau bantuan berupa
diskusi tentang rangkuman materi yang terkait dengan pemantulan cahaya.
Ada dua aplikasi
utama teori Vygotsky dalam pembelajaran sains. Pertama, dikehendakinya susunan
kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat
berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi
pemecahan masalah yang efektif didalam masing-masing zone of proximal development mereka. Kedua, pendektan Vygotsky
dalam pengajaran menekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin
bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.
E. PROSES
BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Menurut Asri Budiningsih (2012:58-61) Proses belajar konstruktivistik secara konseptual, proses belajar jika
dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi
yang bermuara pada permutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih
dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari
fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “.....constructing and restructuring of knowledge
and skiils (schemata) within the individual in a complex network of increasing
conceptual consistency..... “. Pemberian makna terhadap objek dan
pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh
siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu
pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam
memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengolaan siswa dan lingkungan
belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan
dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainnya.
Peranan siswa, menurut pandangan
konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan .
pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal
yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk
menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun
yang akhirnya paling menetukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar
siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali
belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa
sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu.
Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan
yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat
sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan
dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan guru, dalam belajar konstruktivistik
guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan
oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam
belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah
yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan
adalah pengendalian, yang meliputi,
1.
Menumbuhkan
kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan
bertindak.
2.
Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan siswa.
3.
Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajara agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk berlatih.
Sarana belajar, pendekatan konstruktivistik
menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan,
media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan unntuk mengungkapkan pendapat dan
pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan
terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, madiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertangguung jawabkan
pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar, pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai
pandangan dan interprestasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta
aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan
pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan
penerapan evaluasi belajar anatara pandangan behavioristik (tradisional ) yang
obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain
banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan pengertian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada
konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa
pengetahuan adalh obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan
diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal
dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi
objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah
menginterprestasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada
siswanya.
Pandangan konstuktivistik mengemukakan bhwa
realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengonstruksi dan
menginterprestasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarah
perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonsrtuksi pengetahuan dari
pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk
menginterprestasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik
mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterprestasikan
kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interprestasi
tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa
siswa akan dapat menginterprestasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada
konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar
belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman
representasi fungsi konseptual dunia eksternal .
Evaluasi belajar pandangan behavioristik
tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. sedangkan pandangan
konsrtuktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu
konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi
akan lebih obyektif jika evaluator tidak di beri informasi tentang tujuan
selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemebrian kriteria pada
evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga kan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaliuasi ynag menggunakan
kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi
teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai
dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil
belajar konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat
diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengonstruksi pengetahuan yang
menggambarkan proses berpikir yang lebih tinngi seperti tingkat penemuan pada
taksoionomi Merrill, atau strategi kognitif dari Gagne serta sintesis pada
taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi
pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
F.
PERBANDINGAN PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK DAN
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
Menurut Asri (2012:62-24) Kegiatan pembelajaran yang selama ini
berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh
guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa
dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan urutan isi teks.
Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan
buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interprestasi diantara
siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa
belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara
melengkapai buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak
mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan
melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru.
Pengajaran didasarkan pada gagasan atau kosep-konsep yang sudah dianggap pasti
atau baku., dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh
siswa tidak tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan betuk pembelajaran diatas,
pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan
menstransformasi informasi baru. Transformasi
terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuktur
struktur kognitif baru pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk
dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali
atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan
degan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada
apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaaan karakteristik anatara
pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik
adalah sebagai berikut.
Pembelajaran Behavioristik
|
Pembelajaran Konstruktivistik
|
1.
Kurikulum
disajikan dari bagian-bagian menuju ke seluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan
dasar.
|
1)
Kurikulum
disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih
mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas
|
2.
Pembelajara
sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
|
2)
Pembelajaran
lebih menghargai pada pemuculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
|
3.
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
|
3)
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan
manipulasi bahan.
|
4.
Siswa-siwa
dipandang sebagai kertas kosong yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan
guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi
kepada siswa.
|
4)
Siswa
dipandang sebagai pemikir yang dapat memunculkan teori–teori tentang dirinya.
|
5.
Penilaian
hasi belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebaga bagian dari
pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara
testing.
|
5)
Pengukuran
proses dan hasil belajar siswa terjalin didalam kesatuan kegiatan
pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa,
serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
|
6.
Siswa-siswa
biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
|
6)
Siswa-siswa
banyak belajar dan bekerja di dalam group
process.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang
kami dapat setelah membaca dam menulis makalah ini dapat kami simpulkan bahwa:
`1.
Teori
kosntruktivisme didefenisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generative,
yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
2.
Proses pengontruksi teori belajar konstruktivisme menurut Piaget terbagi
menjadi 4 yaitu : skemata, asimilasi, akomodasi, dan
keseimbangan.
3.
Menurut Vygotsky ada 2 aplikasi teori belajar konstruktivisme Pertama, dikehendakinya susunan kelas
berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat
berinteraksi disekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi
pemecahan masalah yang efektif didalam masing-masing zone of proximal development mereka. Kedua, pendektan Vygotsky dalam
pengajaran menekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin
bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.
B. Saran
Pada makalah ini kami kelompok 7 menyadari
banyak nya kekurangan dalam penulisan makalah maka dari itu kami meminta ada
nya saran dan kriktik dari pembaca. Saran kami mengenai makalah ini bahwa pada proses belajar Teori Konstruktivisme
lebih banyak memakan waktu dan siswa dituntun untuk mencari bahan-bahan sendiri
dalam proses belajar, dan kurang adanya dukungan dari guru.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih Asri. 2012. Belajar & Pembelajaran. Rineka Cipta:
Jakarta.
Khairani
Makmun. 2014. Psikologi Belajar.
Aswaja Pressindo: Yokyakarta.
Siregar Eveline dan Nara Hartini. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Ghalia
Indonesia: Bogor.
Triantio. 2010. Model Pembelajaran Terpadu : Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bumi Aksara: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar