Selasa, 08 Mei 2018

Landasan Pengembangan Kurikulum


BAB II
PEMBAHASAN
            (Oemar Hamalik, 2011: hal. 18-19) Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap pengembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. sejalan dengan ketentuan tersebut, perlu ditambahkan bahwa pendidikan nasional berakar pada kebudayaan nasional, dan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan ketentuan dan konsep-konsep tersebut, pengembangan kurikulum agar berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1)      Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2)      Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat kita.
3)      Perkembangan peserta didik, yang menunjuk pada karakteristik perkembangan peserta didik.
4)      Keadaan lingkungan, yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hidup (bioekologi), serta lingkungan alam (geoekologis).
5)      Kebutuhan pembangunan, yang mencakup kebutuhan pembangunan dibidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum, hankam, dan sebagainya.
6)      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

1.      Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum
a.    Pengertian Filsafat
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal 17-18 )Istilan filsafat adalah terjemahan dari bahasa inggris “phylosophy” yang berasal dari perpaduan dua kata Yunani Purba “philien” yang berarti cinta (love), dan “shopia” (wisdom) yang berarti kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of wisdom (Redja Mudyahardjo, 2001:83). Secara operasional filsafat mengandung dua pengertian, yakni sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat (sistem teori atau pemikiran). Dalam kaitannya dengan definisi filsafat sebagai proses, Socrates (dalam Syaripudin 2007) mengemukakan bahwa filsafat adalah cara berpikir secara radikal, menyeluruh, dan mendalam atau cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Berdasarkan luas lingkup yang menjadi objek kajiannya, filsafat dapat dibagi dalam dua cabang besar, yaitu: 1) Filsafat Umum atau Filsafat Murni, dan 2) Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan. Cabang Filsafat Umum terdiri atas:

1)   Metafisika, membahas hakikat kenyataan atau realitas yang meliputi (1) metafisika umum atau otologi, dan (2) metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam semesta), teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia).
2)   Epistemologi dan logika, membahas hakikat pengetahuan (sumber pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan); dan hakikat penalaran (induktif dan deduktif).
3)   Aksiologi, membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan).
Cabang-cabang filsafat khusus atau filsafat terapan, pembagiannya didasarkan pada kekhususan objeknya antara lain: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat ilmu, filsafar religi, filsafat moral,  dan filsafat pendidikan.

b.    Manfaat Filsafat Pendidikan
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 18-19 )Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dari pemikiran-pemikiran filsafat untuk memecahkan permasalahan pendidikan. Dengan demikian, filsafat memiliki manfaat dan memberikan kontribusi yang besar terutama dalam membarikan kajian sistematis berkenaan dengan kepentingan pendidikan. Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
1)      Filsafat pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa kemana anak-anak melalui pendidikan di sekolah? Sekolah iyalah suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik anak-anak- kerah yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara.
2)      Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai oleh filsafat yang dianut, kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai. Manusia yang bagaimanakah yang harus diwujudkan melalui usaha-usaha pendidikan itu?
3)      Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan.
4)      Tujuan pendidikan memungkinkan sipendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu tercapai.
5)      Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiataan-kegiatan pendidikan.

Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan (dalam arti seluas-luasnya) (Raka Joni, 1983:6) segala kehendak yang dimiki oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam pendidikan, atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam masyarat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan.

c.    Filsafat dan Tujuan Pendidikan
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 19-21 )Pandangan-pandangan filsafat sangat dibutuhkan dalam pendidikan, terutama dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Filsafat akan menentukan arah kemana peserta didik akan dibawa. Untuk itu harus ada kejelasan tentang pandangan hidup manusia atau tentang hidup dan eksistensinya. Filsafat atau pandangan hidup yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau bahkan yang dianut oleh perorangan akan sangat mempengaruhi tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Sedangkan tujuan pendidikan sendiri pada dasarnyamerupakan rumusan yang komprehensif mengenai apa yang seharusnya dicapai.
Tujuan pendidikan memuat pernyataan-pernyataan mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianutnya. Dengan demikian, sistem nilai atau filsafat yang dianut oleh suatu komunitas akan memiliki keterkaitan yang yang sangat erat dengan rumusan tujuan pendidikan yang dihasilkannya. Dengan kata lain, filsafat suatu negara tidak bisa dipungkiri akan mempengaruhi tujuan pendidikan di negara tersebut. Oleh karena itu, tujuan pendidikan di suatu negara akan berbeda dengan tujuan pendidikan dinegara lainnya, sebagai implikasi dari adanya perbedaan filsafat yang dianutnya.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, terdapat beberapa pendapat yang bisa dijadikan kaji banding sebagai sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan. Herbert Spencer (Nasution,1982) mengungkapkan lima kajian sebagai sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan, yaitu:
1)   Self-Preservation, yaitu individu harus dapat menjaga kelangsungan hidupnya dengan sehat, mencegah penyakit, dan hidup secara teratur.
2)   Securing the necessities of life, yaitu individu harus sanggup mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan suatu pekerjaan.
3)   Rearing of family, yaitu individu harus mampu menjadi ibu atau bapak yang sanggup bertanggung jawab atas pendidikan anaknya dan kesejahteraan keluarganya.
4)   Mentaining proper social and political relationships, artinya setiap individu adalah makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan negara.
5)   Enjoying leasure time, yaitu individu harus sanggup memanfaatkan waktu senggangnya dengan memilih kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan menambah kenikmatan dan kegairahan hidup.

The United States Office of Education (1918) telah mencanangkan tujuan pendidikan melalui “Seven Cardinal Principles”, yaitu:
1)   Health, yaitu sekolah diwajibkan mempertinggi taraf kesehatan murid-murid.
2)   Commad of fundamental processes, yaitu penguasaan kecakapan pokok-pokok yang fundamental seperti: menulis, membaca, dan berhitung.
3)   Worthy home membership, yaitu mendidik anak-anak menjadi anggota keluarga yang berharga, sehingga berguna bagi masyarakat.
4)   Vocational efficiency, yaitu efesiensi dalam pekerjaan sehingga dalam waktu yang singkat dapat mendapat hasil yang banyak dan memuaskan.
5)   Citizenship, yaitu usaha mengembangkan bangsa menjadi warga yang baik.
6)   Worthy use of leisure, yaitu memanfaatkan waktu senggang dengan baik yang senantiasa bertambah panjang berhubungan dengan industrialisasi ynag lebih sempurna.
7)   Satisfaction of religious needs, yaitu pemuasan kehidupan keagamaan.

Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia bersumber pada pandangan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu Pancasila. Nilai-nilai filsafat Pancasila yang dianut bangsa Indonesia dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan Nasioanal berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan memebentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Ynag Maha Esa, berakhlak mulia, sehta, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, tersurat dan tersirat nilai-nilai      yang terkandung dalam rumusan Pancasila.
          Rumusan tujuan tersebut merupakan keinginan luhur yang harus menjadi inspirasi dan sumber bagi para guru, kepala sekolah, para pengawas pendidikan, dan para pembuat kebijakan pendidikan agar dalam merencanakan, melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum senantiasa konsekuen dan konsisten merefleksikan nilai-nilai ynag terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.

d.    Kurikulum dan Filsafat Pendidikan
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 21-22 )Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa, maka kurikulum yang dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu negara dengan filsafat negara yang dianutnya. Perumusan tujuan pendidikan, penyususnan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan pendidik atau peserta didik senantiasa harus sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Keberadaan aliran-aliran filsafat lainnya dalam pengembangan kurikulum di Indonesia dapat digunakan sebagai acuan, akan tetapi hendaknya dipertimbangkan dan dikaji kesesuaiannya dengan nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia, karena tidak semua konsep aliran filsafat dapat diadopsi dan diterapkan dalam sistem pendidikan kita.

e.    Aliran-aliran Filsafat Pendidikan
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 22-25 )Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat sebagai acuan atau landasan berfikir. Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab permasalahan-permasalahan sekitar: (1) bagaimana seharusnya tujuan pendidikan itu dirumuskan, (2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, dan (4) bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik. Jawaban atas permasalahan tersebut akan sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak pengembangan kurikulum.
Menurut Redja Mudyahardjo (1989), terdapat tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya, dan pendidikan di Indonesia pada khususnya, yaitu: Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme. Redja Mudyahardjo (2001) merangkum konsep-konsep ketiga aliran filsafat tersebut dan implikasinya terhadap pendidikan sebagai berikut :
1)        Idealisme
a.     Konsep-konsep Filsafat
(1)   Metafisika (hakikat realitas) : Realitas atau kenyataan yang sebenarnya bersifat spiritual atau rohaniah.
(2)   Humanologi (hakikat manusia) : Jiwa dikaruniai kemampuan berfikir / rasional.
(3)   Epistemologi (hakikat pengetahuan) : Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalu berpikir.
(4)   Aksiologi (hakikat nilai) : Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban moral yang diturunkan dari pandangan tentang kenyataan atau metafisika. Hakikat ini bersifat absolut / mutlak.
b.    Konsep-konsep pendidikan
(1)     Tujuan pendidikan : tujuan-tujan pendidikan formal dan informal, pertama-tama adalah pembentukan karakter, dan kemudian tertuju pada pengembangan bakat dan kebijakan sosial.
(2)     Isi pendidikan: Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal atau pendidikan umum, penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian melalui pendidikan praktis.
(3)   Metode pendidikan : metode pendidikan yang disusun adalah metode dialektik / dialogik, meskipun demikian setiap metode yang efektif mendorong belajar data diterima (efektif).  Cenderung mengabaikan dasar-dasar fisiologis dalam belajar.
(4)   Peranan peserta didik dan pendidik : Peserta didik bebas mengembangkan bakat dan kepribadiannya. Pendidik bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan kemampuan ilmiah. Tugas utama pendidik adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar secara efisien dan efektif.
2)      Realisme
a.       Konsep-konsep Filsafat
(1)   Metafisika (hakikat realias) : Realitas atau kenyataan yang sebenarnya bersifat fisik atau materi.
(2)   Humanologi (hakikat manusia) : Hakikat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakannya.
(3)   Epistemologi (hakikat pengetahuan) : Pengetahuan diperoleh melalui pengindraan dengan menggunakan pikiran.
(4)   Aksiologi ( hakikat nilai) : Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
b.      Konsep-konsep Pendidikan
(1)   Tujuan pendidikan: Tujuan pendidikan adalah dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial.
(2)   Isi pendidikan: isi pendidikan adalah kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguana bagi penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan liberal / pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir, dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
(3)   Metode pendidikan didasarkan pada pengalaman langsung maupun tidak langsung.
(4)   Peranan peserta didik dan pendidik : dalam hubungannya dengan pembelajaran, peranan peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang dapat berubah-ubah.
3)      Pragmatisme
a.       Konsep-konsep Filsafat
(1)   Metafisika ( hakikat realitas) : suatu teori umum tentang kenyataan tidak mungkin dan tidak perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu dalam alam dan kehidupan adalah berubah (becoming).
(2)   Humanologi (hakikat manusia) : Manusia adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial.
(3)   Epistemologi (hakikat pengetahuan) : pengetahuan bersifat relatif dan terus berkembang.
(4)   Aksiologi (hakikat nilai) : Ukuran tingkah laku perorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Ini berarti tidak ada nilai yang absolut.
b.      Konsep-konsep Pendidikan
(1)   Tujuan pendidikan: tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan masyarakat.
(2)   Isi pendidikan : isi pendidikan adalah kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minta-minat dan kebutuhan-kebutuhan anak dan pendidikan liberal yang menghilangkan pemisahan antara pendidikan umum dengan pendidikan praktis / vokasional.
(3)   Metode pendidikan  berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan metode utamanya, terdiri atas langkah-langkah : penyadaran suatu masalah, observasi kondisi-kondisi yang ada, perumusan dan elaborasi tentang suatu kesimpulan, pengetesan melalui suatu eksperimen.
(4)   Peranan peserta didik dan pendidik: peserta didik adalah sebuah organisme yang rumit yang mampu tumbuh. Peranan pendidik adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak menmpuri urusan minat peserta didik.

2.    Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 26)Pendidikan senantiasa berkaitan dangan prilaku manusia. Dalam setiap proses pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya,baik lingkungan yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Perubahan prilaku peserta didik dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor dari luar program pendidikan atau lingkungan. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan,sudah pasti berhubungan dengan proses prubahan prilaku peserta didik.
       Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai berikut.”....That branchof phychology which studies processes of pra and post natal growth and the maturation of behavio.” Artinya “Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan prilaku.”(J.P. Chaplin, 1979). Sementara itu, Ross Vasta, dkk.(1992) mengemukakan bahwa psikologi perkembangan adalah “ Cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati.” Pemahaman tentang peserta didik sangant penting dalam pengembangan kurikulum. Melalui kajian tentang perkembangan peserta didik, diharapkan upaya pendidikan yang dilakukan sesuai dangan karakteristik peserta didik, baik penyesuaian dari segi kemampuan yang harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan, proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari segi evaluasi pembelajaran.

a.    Perkembangan Peserta Didik dan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 27-29)Setiap individu akan melalui fase-fase perkembangan dalam kehidupannya. Beberapa ahli mengemukakan fase-fase yang berbeda untuk menggambarkan perkembangan individu, antara lain:

Tabel 1.1 Fase-fase Perkembangan Individu Menurut Tahapan

1
Hurlock
2
Rousseau
3
Piaget
Tahap I
Fase prenatal
(senelum lahir, yaitu masa konsepsi sampai 9 bulan)

Usia pengasuhan
(0,0-2,0 tahun)

Tahap II
Fase incfancy
(orok, yaitu lahir sampai 10-14 hari)

Masa pendidikan jasmani dan atihan panca indra
(2,0-12,0 tahun)

Tahap III
Fase childhood
(kanak-kanak, yaitu 2 tahun sampai remaja)

Periode pendidikan akal
(12,0-15,0 tahun)

Tahap IV
Fase adolescence/puberty
(11-13 tahun sampai usia 21 tahun)

Periode pendidikan watak dan pendidikan agama
(15-20,0 tahun)


Dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar (pendidikan), Syamsu Yusuf (2005:23), menegaskan bahwa penahapan perkembangan yang digunakan sebaiknya bersifat elektif, artinya tidak terpaku pada suatu pendapat saja, tetapi bersifat luas untuk meramu dari berbagai pendapat yang mempunyai hubungan yang erat. Atas dasar itu perkembangan individu sejak lahir sampai masa kematangan dapat digambarkan melewati fase-fase berikut:
Tabel 1.2 Fase-fase Perkembangan Individu Menurut Usia
TAHAP PERKEMBANGAN
USIA
Masa usia prasekolah
0,0-6 tahun
Masa usia sekolah dasar
6,0-12 tahun
Masa usia sekolah menengah
12,0-18 tahun

Implikasi lain dari pemahaman tentang peserta didik terhadap proses pembelajaran dapat diuraikan sebagai berikut:
1)      Tujuan pembelajaran yang rumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan tingkah laku peserta didik.
2)      Bahan/materi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kebutuhan peserta didik sehingga hasilnya bermakna bagi mereka.
3)      Strategi belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
4)      Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
5)      Sistem evaluasi harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.


b. Psikologi Belajar dan Pengembangan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 29-36)Psikologi belajar merupak suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Pembahasan tentang psikologi belajar erat kaitannya dengan teori belajar. Pmahaman tentang teori-teori belajar berdasarkan pendekatan psikologis adalah upaya mengenali kondisi objektif terhadap individu anak yang sedang mengalami proses belajar dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaannya. Pemahaman yangluas dan komprehensif tentang berbagai teori belajar akan memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi para pengembang kurikulum baik di tingkat makro maupun tingkat mikro untuk merumuskan model kurikulum yang diterapkan. Pendekatan terhadap belajar berdasarkan suatu teori tertentu merupakan asumsi yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanannya berkaitan dengan aspek-aspek dan akibat yang mungkin ditimbulkannya. Sedikitnya ada tiga jenis teori belajar yang berkembang dewasa ini dan memiliki pengaruh terhadap pengembangan kurikulum di Indonesia pada khususnya. Teori belajar tersebut adalah : (1) teori psikologi kognitif (kognitivisme), (2) teori psikologi humanistic, dan (3) teori psikologi behavioristik.
1.      Teori psikologi kognitif (kognitivisme)
Teori psikologi kognitif dijenal dengan cognitive gestalt field. Teori belajar ini adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari Psikologi Gestalt Field. Menurut mereka belajar adalah proses mengembangkan insight  atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsure-unsur yang ada dilingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri.
Asal mula teori belajar kognitif bersumber pada psikologi lapangan (field psychology), dengan tokoh utamanya Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam suatu lapangan psikologi yang oleh Kurt Lewin disebut life Space. Dalam lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu terarah pada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah mencapai suatu tujuan maka timbul tujuan yang lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space  baru.
Para ahli psikologi kognitif yang memusatkan perhatian pada perubahan dalam aspek kognisis, percaya bahwa belajar adalah suatu kegiatan mental internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Menurut teori ini cara belajar orang dewasa berbeda dengan cara belajar anak, di ,mana cara belajar orang dewasa lebih banyak melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Menurut Piaget (1954) cara-cara tertentu berpikir yang dipandang sederhana oleh orang dewasa tidak demikian sederhana dipandang oleh anak-anak. Untuk menjelaskan proses belajar harus mempertimbangkan proses kognisi (pengetahuan) yang tururt ambil bagian selama proses belajar berlangsung. Teori ini juga menyatakan bahwa satu unsure yang paling penting dalam proses belajar adalah apa yang dibawa individu ke dalam situais belajar. Artinya segala sesuatu yang kita ketahui sangat menentukan keluasan pengetahuan dan informasi yang akan kita pelajari.
Para ahli psikologi kognitif memandang bahwa kemampuan kognisi seseorang mengalami tahapan perkembangan. Tahap-tahap perkembangan kognitif tersebut menggambarkan kemampuan berpikir seseorang sesuai dengan usianya. Piaget (Woolfolk, 206:33) membagi tahapan perkembangan kognitif dari usia anak sampai dewasa menjadi empat tahap sebagai berikut:
a)      Tahap sensosrimotor (0-2 tahun), tingkah laku anak pada tahap ini dikendalikan oleh perasaan dan aktivitas motorik. Anak belajar melalui indranya dan dengan cara memanipulasi benda-benda.
b)      Tahap praoperasional (2-7 tahun). Tahap ini dibagi ke dalam dua fase , yaitu:
1)      Subtahap fungsi simbolik (2-4 tahun) adalah, periode egosentris yang sesungguhnya, anak mampu mengelompokkan dengan cara yang sangat sederhana.
2)      Subtahap fungus intuitif (4-7), anak secara perlahan mulai berpikir dalam bentuk kelas, menggunakan konsep angka, dan melihat hubungan yang sederhana.
c)      Tahap operasi konkret (7-11 tahun), mampu memecahkan masalah konkret, mengembangkan kemampuan untuk menggunakan dan memahami secara sadar operasi logis dalam matematika, klasifikasi dan rangkaian.
d)      Tahap operasi formal (11 tahun-dewasa), mampu memahami konsep abstrak (kemampuan untuk berpikir tentang ide, memahami hubungan sebab akibat , berpikir tentang masa depan, dan mengembangkan serta menguji hipotesis).

Berdasarkan teori perkembangan kognitif dari piaget, guru mempunyai peranan dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:
a.       Merancang program, menata lingkungan yang kondusif , memilih materi pelajaran, dan mengendalikan aktivitas murid untuk melakukan inkuiri dan interaksi denagn lingkungan
b.      Mendiagnosis tahap perkembangan murid, menyajikan permasalahan kepada murid yang sejajar dengan tingkat perkembangannya.
c.       Mendorong perkembangan murid kea rah perkembangan berikutnya dengan cara memberikan latihan, bertanya dan mendorong murid untuk melakukan eksplorasi (Y. Suyitno 2007:101-102)

2.      Teori Psikologi Behavioristik
Teori Psikologi Behavioristik disebut juga Stimulus-Respons Theory(S-R). Kelompok ini mencakup tiga teori, yaitu S-R Bond, conditioning, dan reinforcement. Kelompok teori ini berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak meiliki/membawa apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh factor-faktor yang berasal dari lingkungannya. Teori S-R Bond (stimulus-respons) bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasidan merupakan teori pertama dari rumpun behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tundup pada hukum stimulus-respons atau aksi-reaksi. Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning. Tokoh utama dari teori ini adalah John B. Watson, terkenal dengan percobaan conditioning pada anjing. Belajar atau pembentukan hubungan antara stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L.Hull. teori ini berkembang dari teori psikologi , reinforcement merupakan perkembangan lanjutan dari teori S-R Bond dan conditioning. Kalau pada teori conditioning, kondisi diberikan pada stimulus, maka pada teori reinforcement kondisi diberikan pada respons. Karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulasi) selain ia menguasai apa yang diberikan (respons) maka guru memberikan nilai tinggi dan hadiah.
Peranan guru dalam proses belajar mengajar berdasarkan teori psikologi behavioristik adalah sebagai berikut:
a.       Mengidentifikasi perilaku yang dipelajari dan merumuskannya dalam rumusan yang spesifik.
b.      Mengidentifikasi perilaku yang diharapkan dari proses belajar.
c.       Mengidentifikais reinforce yang memadai.
d.      Menghindarkan perilaku yang tidak diharapkan dengan jalan memperlemah pola perilaku yang dikehendaki (Y. Suyitno, 2007:103)
3.      Teori psikologi humanistic
Berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori humanistic menolak proses mekanis dalam belajar, karena belajar adalah suatu proses mengembangkan pribadi secara utuh. Bertentangan dengan teori behavioristik yang lebih menekankan partisipasi aktif guru dalam belajar, peranan guru menurut teori belajar behavioristik adalah sebagai pembimbing, sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan kepada siswa dalam belajar. Menurut Carl R. Rogers, peran guru sebagai fasilitator dapat dijabarkan sebagai berikut:
a)      Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap belajar.
b)      Membantu siswa mengklasifikasi tujuan belajar, dan guru memberikan kesempata secara bebas kepada siswa untuk menyatakan apa yang hendak dan ingin mereka pelajari.
c)      Membantu siswa mengembangkan dorongan dan tujuannya sebagai kekuatan untuk belajar.
d)      Menyediakan sumber-sumber belajar , termasuk juga menyediakan dirinya sebagai sumber belajar bagi siswa. (Y. Suyitno,2007:104)

3.      Landasan Sosiologi Pengembangan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 36-37) Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun nonformal dalam lingkungan masyarakat,dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan.
Dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi warga mesyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antropologi, pendidikan adalah “enkulturasi” atau pembudayaan. “Dengan pendidikan, kita kita tidak mengharapkan muncul manusi-manusia yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakat. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut“ (Nana Syaodih Submadinata, 1997:58). Untuk menjadikan peserta didik agar menjadikan warga masyarakat yang diharapkan maka pendidikan memiliki peranan penting, karena itu kurikulum harus mamapu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan dimasyarakat dan mampu meningkatkan harkat dan mertabatnya sebagai makhluk yang berbudaya.
Pendidikan adalah proses sosialisasi melaui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia.
a.       Masyarakat dan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 37-39) Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri kedalam kelompok-kelompok berbeda, atau suatu kelompok individu yang terorganisasi yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dangan kelompok atau masyarakat lainnya. Menurut Daud Yusuf (1982), terdapat tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan, yaitu: logika, estetika, dan etika. Logika adalah aspek pengetahuan dan penalaran, estetika berkaitan dengan aspek emosi atau perasaan, dan etika berkaitan dengan aspek nilai. Ilmi pengetahuan dan kebudayaan adalah nila-nilai yang bersumber pada logika (pikiran). Sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia, maka kehidupan manusia semakin luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai progranm pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan msyarakat. Untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksaannya. Oleh karena itu, guru sebagai pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan siswa dimasyarakat.
Penerapan teori, prinsip, hukum, dan konsep-konsep yang terdapat dalam semua ilmu pegetahuan yang ada dalam kurikulum, harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya. Pengembangan kurikulum hendaknya memerhatikan kebutuhan masyarakat dan perkembangan masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963), Tanerr dan Tanerr (1984) menyatakan bahwa tuntutan  masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun Light dan Keller (1997) memaparkan tujuan fungsi sosial pendidikan, yaitu:
1)      Mengajar keterampilan.
2)      Mentransmisikan budaya.
3)      Mendorong adaptasi lingkungan.
4)      Membentuk kedisiplinan.
5)      Mendorong bekerja berkelompok.
6)      Meningkatkan perilaku etik.
7)      Memilih bakat dan memberi penghargaan presentasi

Pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis dan mengglobal. Akan tetapi, pengembangan kurikulum juga harus ditentukan pada pengembangan individu dan keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Sangatlah penting memerhatikan faktor karakteristik masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat diperlukan kurikulum yang landasan pengembangannya memerhatikan faktor perkembangan masyarakat.
b.      Kebudayaan dan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011: hal. 39-42) Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang telah disepakati oleh msyarakat. Daoed Yusuf (1981) mendefenisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika) serta peresaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih rinci, kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
1)      Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat ditempat kebudayaan itu berada.
2)      Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia bersifat konkret, bisa dilihat, dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya, sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah dimilikinya.
3)      Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini  ialah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia dimasyarakat. Oleh karena itu, wujud kebudayaan yang ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayan yang pertama dan kedua.
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan:
1)      Individu lahir takberbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/ lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum
2)      Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek- aspek sosial dan budaya. Aspek sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam, seperti masyarakat industri, pertanian, nelayan, dan sebagainya. Pendidikan disekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi denagn anggota masyrakat lainya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.

Gagasan pemerintah untuk merealisasikan pengembangan kurikulum muatan lokal tersebut yang dimulai pada sekolah dasar, telah diwujudkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.0412/U/1987 Tanggal 11 Juli 1987 tentang Penerapan Muatan Lokal Sekolah Dasar kemudian disususl dengan penjabaran pelaksanaannya dalam Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah No.173/C/Kep/M/1987 Tanggal 7 Oktober 1987. Dalam sambutannya Mendikbud menyatakan: “Dalam hal ini harus diingat bahwa adanya ‘muatan lokal’ dalam kurikulum bukan bertujuan agar anak terjerat dalam lingkungannya semata-mata. Semua anak berhak mendapat kesempatan guna lebih terlibat dalam mobilitas yang melampaui batas lingkunganya sendiri”(Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000:274).
Adapun yang dimaksud dengan muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyimpanannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah. Yang dimaksud dengan isi adalah meteri pelajaran atau bahan ajar yang dipilih dari lingkungan dan dijadikan program untuk dipelajari siswa dibawah bimbingan guru. Sedangkan media penyimpanan adalah metode dan berbagai alat bantu penbelajara yang digunakan dalam menyajikan isi muatan lokal yang diambil dari dan menggunakan sumber lingkungan yang dekat dengan kehidupan peserta didik. Lingkungan sosial dan budaya yang terdapat dalam pola kehidupan daerah karena keanekaragamannya disederhanakan dan diklsifikasikan menjadi delapan kelompok yaitu: (1) perikanan darat dan laut, (2) peternakan,(3) persawahan,(4) perladangan dan perkebunan, (5) perdagangan termasuk di dalamnya jasa, (6) industri kecil termasuk di dalamnya indusrti rumah tangga, (7) industri besar, dan (8) pariwisata.
Contoh kurikulum muata lokal yang saat ini sudah dilaksanakan disebagian besar sekolah adalah Mata Pelajaran Keterampilan, Kesenian, dan Bahasa Daerah.
Tujuan pengembangan kurikulum muatan lokal dapat dilihat dari kepentingan nasional dn kepentingan peserta didik. Dalam hubungannya dengan kepentingan nasional muatan lokal bertujuan :
1)      Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang khas daerah.
2)      Mengubah niali dan sikap masyarakat terhadap lingkungan ke arah yang positif.
Jika dilihat dari sudut kepentingan peserta didik pengembangan kurikulum muatan lokal bertujuan:
1)      Meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap lingkungannya (lingkungan alam,sosial,dan budaya).
2)      Mengakrabkan peserta didik dengan lingkungannya sehingga mereka tidak asing dengan lingkungannya.
3)      Menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang ditemukan dilingkungan sekitarnya.
(Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000:276)














BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
1.      Pengertian Filsafat
Istilan filsafat adalah terjemahan dari bahasa inggris “phylosophy” yang berasal dari perpaduan dua kata Yunani Purba “philien” yang berarti cinta (love), dan “shopia” (wisdom) yang berarti kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of wisdom (Redja Mudyahardjo,2001:83).
2.      Pengertian Psikologis Perkembangan
Psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai berikut.”....That branchof phychology which studies processes of pra and post natal growth and the maturation of behavio.” Artinya “Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan prilaku.”(J.P. Chaplin, 1979). Sementara itu, Ross Vasta, dkk.(1992) mengemukakan bahwa psikologi perkembangan adalah “ Cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati.”
3.      Pengertian Sosiologi
Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun nonformal dalam lingkungan masyarakat,dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan.
3.2  SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masaih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna perbaikan makalah dimasa yang akan datang.







DAFTAR RUJUKAN
Dimyati, dan Mujiono. 2013. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik , Omar. 2011. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara
Sanjaya  , Wina. 2010. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran Jurusan Kuikulum dan Teknologi Pendidikan. 2011. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar