BAB
II
PEMBAHASAN
(Oemar Hamalik, 2011: hal. 18-19) Kurikulum
disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap
pengembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
sejalan dengan ketentuan tersebut, perlu ditambahkan bahwa pendidikan nasional
berakar pada kebudayaan nasional, dan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan ketentuan dan konsep-konsep tersebut,
pengembangan kurikulum agar berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1) Tujuan filsafat dan pendidikan
nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional
yang pada gilirannya menjadi landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu
satuan pendidikan.
2) Sosial budaya dan agama yang
berlaku dalam masyarakat kita.
3) Perkembangan peserta didik, yang
menunjuk pada karakteristik perkembangan peserta didik.
4) Keadaan lingkungan, yang dalam
arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan
termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hidup (bioekologi), serta lingkungan
alam (geoekologis).
5) Kebutuhan pembangunan, yang
mencakup kebutuhan pembangunan dibidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum,
hankam, dan sebagainya.
6) Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya
bangsa.
1. Landasan
Filosofis Pengembangan Kurikulum
a.
Pengertian
Filsafat
(TIM
pengembangan MKDP, 2011: hal 17-18 )Istilan filsafat adalah terjemahan dari
bahasa inggris “phylosophy” yang
berasal dari perpaduan dua kata Yunani Purba “philien” yang berarti cinta (love),
dan “shopia” (wisdom) yang berarti kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat
berarti cinta kebijaksanaan atau love of
wisdom (Redja Mudyahardjo, 2001:83). Secara operasional filsafat mengandung
dua pengertian, yakni sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil
berfilsafat (sistem teori atau pemikiran). Dalam kaitannya dengan definisi
filsafat sebagai proses, Socrates (dalam
Syaripudin 2007) mengemukakan bahwa filsafat adalah cara berpikir secara
radikal, menyeluruh, dan mendalam atau cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Berdasarkan luas lingkup yang menjadi objek kajiannya,
filsafat dapat dibagi dalam dua cabang besar, yaitu: 1) Filsafat Umum atau
Filsafat Murni, dan 2) Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan. Cabang Filsafat
Umum terdiri atas:
1)
Metafisika,
membahas hakikat kenyataan atau realitas yang meliputi (1) metafisika umum atau
otologi, dan (2) metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam
semesta), teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat
manusia).
2)
Epistemologi
dan logika, membahas hakikat pengetahuan (sumber pengetahuan, metode mencari
pengetahuan, kesahihan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan); dan hakikat
penalaran (induktif dan deduktif).
3)
Aksiologi,
membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat kebaikan), dan
estetika (hakikat keindahan).
Cabang-cabang
filsafat khusus atau filsafat terapan, pembagiannya didasarkan pada kekhususan
objeknya antara lain: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat ilmu, filsafar
religi, filsafat moral, dan filsafat
pendidikan.
b.
Manfaat
Filsafat Pendidikan
(TIM pengembangan
MKDP, 2011: hal. 18-19 )Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dari
pemikiran-pemikiran filsafat untuk memecahkan permasalahan pendidikan. Dengan
demikian, filsafat memiliki manfaat dan memberikan kontribusi yang besar
terutama dalam membarikan kajian sistematis berkenaan dengan kepentingan
pendidikan. Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat
pendidikan, yaitu:
1)
Filsafat
pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa kemana anak-anak melalui
pendidikan di sekolah? Sekolah iyalah suatu lembaga yang didirikan untuk
mendidik anak-anak- kerah yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan
negara.
2)
Dengan
adanya tujuan pendidikan yang diwarnai oleh filsafat yang dianut, kita mendapat
gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai. Manusia yang bagaimanakah
yang harus diwujudkan melalui usaha-usaha pendidikan itu?
3)
Filsafat
dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha
pendidikan.
4)
Tujuan
pendidikan memungkinkan sipendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu
tercapai.
5)
Tujuan
pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiataan-kegiatan
pendidikan.
Pendidikan
ada dan berada dalam kehidupan masyarakat sehingga apa yang dikehendaki oleh
masyarakat untuk dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan (dalam arti seluas-luasnya)
(Raka Joni, 1983:6) segala kehendak yang dimiki oleh masyarakat merupakan
sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan. Dengan demikian pandangan
dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan pandangan dan wawasan dalam
pendidikan, atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang hidup dalam masyarat
merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan.
c.
Filsafat
dan Tujuan Pendidikan
(TIM pengembangan
MKDP, 2011: hal. 19-21 )Pandangan-pandangan filsafat sangat dibutuhkan dalam
pendidikan, terutama dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Filsafat akan
menentukan arah kemana peserta didik akan dibawa. Untuk itu harus ada kejelasan
tentang pandangan hidup manusia atau tentang hidup dan eksistensinya. Filsafat
atau pandangan hidup yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat
tertentu atau bahkan yang dianut oleh perorangan akan sangat mempengaruhi
tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Sedangkan tujuan pendidikan sendiri pada
dasarnyamerupakan rumusan yang komprehensif mengenai apa yang seharusnya
dicapai.
Tujuan
pendidikan memuat pernyataan-pernyataan mengenai berbagai kemampuan yang
diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik selaras dengan sistem nilai dan
falsafah yang dianutnya. Dengan demikian, sistem nilai atau filsafat yang
dianut oleh suatu komunitas akan memiliki keterkaitan yang yang sangat erat
dengan rumusan tujuan pendidikan yang dihasilkannya. Dengan kata lain, filsafat
suatu negara tidak bisa dipungkiri akan mempengaruhi tujuan pendidikan di
negara tersebut. Oleh karena itu, tujuan pendidikan di suatu negara akan
berbeda dengan tujuan pendidikan dinegara lainnya, sebagai implikasi dari
adanya perbedaan filsafat yang dianutnya.
Berkaitan
dengan tujuan pendidikan, terdapat beberapa pendapat yang bisa dijadikan kaji
banding sebagai sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan. Herbert Spencer
(Nasution,1982) mengungkapkan lima kajian sebagai sumber dalam merumuskan
tujuan pendidikan, yaitu:
1)
Self-Preservation, yaitu individu harus dapat
menjaga kelangsungan hidupnya dengan sehat, mencegah penyakit, dan hidup secara
teratur.
2)
Securing the necessities of life, yaitu individu harus sanggup
mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan suatu pekerjaan.
3)
Rearing of family, yaitu individu harus mampu
menjadi ibu atau bapak yang sanggup bertanggung jawab atas pendidikan anaknya
dan kesejahteraan keluarganya.
4)
Mentaining proper social and
political relationships,
artinya setiap individu adalah makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan
masyarakat dan negara.
5)
Enjoying leasure time, yaitu individu harus sanggup
memanfaatkan waktu senggangnya dengan memilih kegiatan-kegiatan yang
menyenangkan dan menambah kenikmatan dan kegairahan hidup.
The
United States Office of Education (1918) telah mencanangkan tujuan pendidikan
melalui “Seven Cardinal Principles”,
yaitu:
1)
Health, yaitu sekolah diwajibkan
mempertinggi taraf kesehatan murid-murid.
2)
Commad of fundamental processes, yaitu penguasaan kecakapan
pokok-pokok yang fundamental seperti: menulis, membaca, dan berhitung.
3)
Worthy home membership, yaitu mendidik anak-anak menjadi
anggota keluarga yang berharga, sehingga berguna bagi masyarakat.
4)
Vocational efficiency, yaitu efesiensi dalam pekerjaan
sehingga dalam waktu yang singkat dapat mendapat hasil yang banyak dan
memuaskan.
5)
Citizenship, yaitu usaha mengembangkan bangsa
menjadi warga yang baik.
6)
Worthy use of leisure, yaitu memanfaatkan waktu senggang
dengan baik yang senantiasa bertambah panjang berhubungan dengan
industrialisasi ynag lebih sempurna.
7)
Satisfaction of religious needs, yaitu pemuasan kehidupan
keagamaan.
Tujuan
Pendidikan Nasional Indonesia bersumber pada pandangan hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yaitu Pancasila. Nilai-nilai filsafat Pancasila yang
dianut bangsa Indonesia dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional
seperti tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
yaitu: Pendidikan Nasioanal berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan memebentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Ynag
Maha Esa, berakhlak mulia, sehta, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3). Dalam
rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, tersurat dan tersirat nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan Pancasila.
Rumusan
tujuan tersebut merupakan keinginan luhur yang harus menjadi inspirasi dan
sumber bagi para guru, kepala sekolah, para pengawas pendidikan, dan para
pembuat kebijakan pendidikan agar dalam merencanakan, melaksanakan, membina dan
mengembangkan kurikulum senantiasa konsekuen dan konsisten merefleksikan
nilai-nilai ynag terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
d.
Kurikulum
dan Filsafat Pendidikan
(TIM
pengembangan MKDP, 2011: hal. 21-22 )Kurikulum pada hakikatnya adalah alat
untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi
oleh filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa, maka kurikulum yang
dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut
oleh bangsa tersebut. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang sangat erat
antara kurikulum pendidikan di suatu negara dengan filsafat negara yang
dianutnya. Perumusan tujuan pendidikan, penyususnan program pendidikan,
pemilihan dan penggunaan pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus
dilakukan pendidik atau peserta didik senantiasa harus sesuai dengan falsafah
hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Keberadaan aliran-aliran filsafat
lainnya dalam pengembangan kurikulum di Indonesia dapat digunakan sebagai
acuan, akan tetapi hendaknya dipertimbangkan dan dikaji kesesuaiannya dengan
nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia, karena tidak semua konsep aliran
filsafat dapat diadopsi dan diterapkan dalam sistem pendidikan kita.
e.
Aliran-aliran
Filsafat Pendidikan
(TIM pengembangan
MKDP, 2011: hal. 22-25 )Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat sebagai
acuan atau landasan berfikir. Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan
berupaya menjawab permasalahan-permasalahan sekitar: (1) bagaimana seharusnya
tujuan pendidikan itu dirumuskan, (2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana
yang seharusnya disajikan kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang
seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, dan (4) bagaimana
peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik. Jawaban atas
permasalahan tersebut akan sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang
digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak pengembangan kurikulum.
Menurut
Redja Mudyahardjo (1989), terdapat tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar
pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada umumnya, dan pendidikan di
Indonesia pada khususnya, yaitu: Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme. Redja
Mudyahardjo (2001) merangkum konsep-konsep ketiga aliran filsafat tersebut dan
implikasinya terhadap pendidikan sebagai berikut :
1)
Idealisme
a.
Konsep-konsep
Filsafat
(1)
Metafisika
(hakikat realitas) : Realitas atau kenyataan yang sebenarnya bersifat spiritual
atau rohaniah.
(2)
Humanologi
(hakikat manusia) : Jiwa dikaruniai kemampuan berfikir / rasional.
(3)
Epistemologi
(hakikat pengetahuan) : Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan
pengingatan kembali melalu berpikir.
(4)
Aksiologi
(hakikat nilai) : Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban moral yang diturunkan
dari pandangan tentang kenyataan atau metafisika. Hakikat ini bersifat absolut
/ mutlak.
b.
Konsep-konsep
pendidikan
(1)
Tujuan
pendidikan : tujuan-tujan pendidikan formal dan informal, pertama-tama adalah
pembentukan karakter, dan kemudian tertuju pada pengembangan bakat dan
kebijakan sosial.
(2)
Isi
pendidikan: Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal atau
pendidikan umum, penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian
melalui pendidikan praktis.
(3)
Metode
pendidikan : metode pendidikan yang disusun adalah metode dialektik / dialogik,
meskipun demikian setiap metode yang efektif mendorong belajar data diterima
(efektif). Cenderung mengabaikan
dasar-dasar fisiologis dalam belajar.
(4)
Peranan
peserta didik dan pendidik : Peserta didik bebas mengembangkan bakat dan
kepribadiannya. Pendidik bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan
kemampuan ilmiah. Tugas utama pendidik adalah menciptakan lingkungan yang
memungkinkan peserta didik dapat belajar secara efisien dan efektif.
2)
Realisme
a.
Konsep-konsep
Filsafat
(1)
Metafisika
(hakikat realias) : Realitas atau kenyataan yang sebenarnya bersifat fisik atau
materi.
(2)
Humanologi
(hakikat manusia) : Hakikat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakannya.
(3)
Epistemologi
(hakikat pengetahuan) : Pengetahuan diperoleh melalui pengindraan dengan
menggunakan pikiran.
(4)
Aksiologi
( hakikat nilai) : Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam yang diperoleh
melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan
atau adat istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
b.
Konsep-konsep
Pendidikan
(1) Tujuan pendidikan: Tujuan
pendidikan adalah dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup dan dapat
melaksanakan tanggung jawab sosial.
(2) Isi pendidikan: isi pendidikan
adalah kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguana bagi
penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi
unsur-unsur pendidikan liberal / pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan
berpikir, dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
(3)
Metode
pendidikan didasarkan pada pengalaman langsung maupun tidak langsung.
(4)
Peranan
peserta didik dan pendidik : dalam hubungannya dengan pembelajaran, peranan
peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang dapat berubah-ubah.
3)
Pragmatisme
a.
Konsep-konsep
Filsafat
(1)
Metafisika
( hakikat realitas) : suatu teori umum tentang kenyataan tidak mungkin dan
tidak perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu
dalam alam dan kehidupan adalah berubah (becoming).
(2)
Humanologi
(hakikat manusia) : Manusia adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan
sosial.
(3)
Epistemologi
(hakikat pengetahuan) : pengetahuan bersifat relatif dan terus berkembang.
(4)
Aksiologi
(hakikat nilai) : Ukuran tingkah laku perorangan dan sosial ditentukan secara
eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Ini berarti tidak ada nilai
yang absolut.
b.
Konsep-konsep
Pendidikan
(1)
Tujuan
pendidikan: tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk
memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan masyarakat.
(2)
Isi
pendidikan : isi pendidikan adalah kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang
telah teruji serta minta-minat dan kebutuhan-kebutuhan anak dan pendidikan
liberal yang menghilangkan pemisahan antara pendidikan umum dengan pendidikan
praktis / vokasional.
(3)
Metode
pendidikan berpikir reflektif atau metode
pemecahan masalah merupakan metode utamanya, terdiri atas langkah-langkah :
penyadaran suatu masalah, observasi kondisi-kondisi yang ada, perumusan dan
elaborasi tentang suatu kesimpulan, pengetesan melalui suatu eksperimen.
(4)
Peranan
peserta didik dan pendidik: peserta didik adalah sebuah organisme yang rumit
yang mampu tumbuh. Peranan pendidik adalah mengawasi dan membimbing pengalaman
belajar tanpa terlampau banyak menmpuri urusan minat peserta didik.
2. Landasan
Psikologis Pengembangan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011:
hal. 26)Pendidikan senantiasa berkaitan dangan prilaku manusia. Dalam setiap
proses pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik dengan
lingkungannya,baik lingkungan yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial.
Perubahan prilaku peserta didik dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor
dari luar program pendidikan atau lingkungan. Kurikulum sebagai alat untuk
mencapai tujuan/program pendidikan,sudah pasti berhubungan dengan proses
prubahan prilaku peserta didik.
Pengembangan kurikulum harus dilandasi
oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa
dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik
belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan
dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi
belajar. Psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai berikut.”....That branchof phychology which studies
processes of pra and post natal growth and the maturation of behavio.”
Artinya “Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang
mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran
berikut kematangan prilaku.”(J.P. Chaplin, 1979). Sementara itu, Ross Vasta,
dkk.(1992) mengemukakan bahwa psikologi perkembangan adalah “ Cabang psikologi
yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses
perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati.” Pemahaman tentang
peserta didik sangant penting dalam pengembangan kurikulum. Melalui kajian
tentang perkembangan peserta didik, diharapkan upaya pendidikan yang dilakukan
sesuai dangan karakteristik peserta didik, baik penyesuaian dari segi kemampuan
yang harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan, proses penyampaian
atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari segi evaluasi pembelajaran.
a.
Perkembangan
Peserta Didik dan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011:
hal. 27-29)Setiap individu akan melalui fase-fase perkembangan dalam
kehidupannya. Beberapa ahli mengemukakan fase-fase yang berbeda untuk
menggambarkan perkembangan individu, antara lain:
Tabel 1.1 Fase-fase Perkembangan
Individu Menurut Tahapan
|
1
Hurlock
|
2
Rousseau
|
3
Piaget
|
Tahap
I
|
Fase
prenatal
(senelum
lahir, yaitu masa konsepsi sampai 9 bulan)
|
Usia
pengasuhan
(0,0-2,0
tahun)
|
|
Tahap
II
|
Fase
incfancy
(orok,
yaitu lahir sampai 10-14 hari)
|
Masa
pendidikan jasmani dan atihan panca indra
(2,0-12,0
tahun)
|
|
Tahap
III
|
Fase
childhood
(kanak-kanak,
yaitu 2 tahun sampai remaja)
|
Periode
pendidikan akal
(12,0-15,0
tahun)
|
|
Tahap
IV
|
Fase
adolescence/puberty
(11-13
tahun sampai usia 21 tahun)
|
Periode
pendidikan watak dan pendidikan agama
(15-20,0
tahun)
|
|
Dalam hubungannya dengan proses
belajar mengajar (pendidikan), Syamsu Yusuf (2005:23), menegaskan bahwa
penahapan perkembangan yang digunakan sebaiknya bersifat elektif, artinya tidak
terpaku pada suatu pendapat saja, tetapi bersifat luas untuk meramu dari
berbagai pendapat yang mempunyai hubungan yang erat. Atas dasar itu perkembangan
individu sejak lahir sampai masa kematangan dapat digambarkan melewati
fase-fase berikut:
Tabel 1.2 Fase-fase Perkembangan
Individu Menurut Usia
TAHAP PERKEMBANGAN
|
USIA
|
Masa
usia prasekolah
|
0,0-6
tahun
|
Masa
usia sekolah dasar
|
6,0-12
tahun
|
Masa
usia sekolah menengah
|
12,0-18
tahun
|
Implikasi lain dari pemahaman
tentang peserta didik terhadap proses pembelajaran dapat diuraikan sebagai
berikut:
1)
Tujuan
pembelajaran yang rumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan
tingkah laku peserta didik.
2)
Bahan/materi
yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kebutuhan peserta
didik sehingga hasilnya bermakna bagi mereka.
3)
Strategi
belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
4)
Media
yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
5)
Sistem
evaluasi harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.
b. Psikologi Belajar dan
Pengembangan Kurikulum
(TIM
pengembangan MKDP, 2011: hal. 29-36)Psikologi belajar merupak suatu studi
tentang bagaimana individu belajar. Pembahasan tentang psikologi belajar erat
kaitannya dengan teori belajar. Pmahaman tentang teori-teori belajar
berdasarkan pendekatan psikologis adalah upaya mengenali kondisi objektif
terhadap individu anak yang sedang mengalami proses belajar dalam rangka
pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaannya. Pemahaman yangluas dan
komprehensif tentang berbagai teori belajar akan memberikan kontribusi yang
sangat berharga bagi para pengembang kurikulum baik di tingkat makro maupun
tingkat mikro untuk merumuskan model kurikulum yang diterapkan. Pendekatan
terhadap belajar berdasarkan suatu teori tertentu merupakan asumsi yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanannya berkaitan dengan aspek-aspek dan akibat
yang mungkin ditimbulkannya. Sedikitnya ada tiga jenis teori belajar yang
berkembang dewasa ini dan memiliki pengaruh terhadap pengembangan kurikulum di
Indonesia pada khususnya. Teori belajar tersebut adalah : (1) teori psikologi
kognitif (kognitivisme), (2) teori psikologi humanistic, dan (3) teori
psikologi behavioristik.
1.
Teori
psikologi kognitif (kognitivisme)
Teori psikologi kognitif dijenal
dengan cognitive gestalt field. Teori
belajar ini adalah teori insight. Aliran
ini bersumber dari Psikologi Gestalt Field. Menurut mereka belajar adalah
proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman
lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan
unsure-unsur yang ada dilingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri.
Asal
mula teori belajar kognitif bersumber pada psikologi lapangan (field psychology), dengan tokoh utamanya
Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam suatu lapangan psikologi yang oleh
Kurt Lewin disebut life Space. Dalam
lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai dan ada hambatan-hambatan
yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu terarah pada pencapaian sesuatu
tujuan, oleh karena itu sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah mencapai
suatu tujuan maka timbul tujuan yang lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space baru.
Para
ahli psikologi kognitif yang memusatkan perhatian pada perubahan dalam aspek
kognisis, percaya bahwa belajar adalah suatu kegiatan mental internal yang
tidak dapat diamati secara langsung. Menurut teori ini cara belajar orang
dewasa berbeda dengan cara belajar anak, di ,mana cara belajar orang dewasa
lebih banyak melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Menurut Piaget
(1954) cara-cara tertentu berpikir yang dipandang sederhana oleh orang dewasa
tidak demikian sederhana dipandang oleh anak-anak. Untuk menjelaskan proses
belajar harus mempertimbangkan proses kognisi (pengetahuan) yang tururt ambil
bagian selama proses belajar berlangsung. Teori ini juga menyatakan bahwa satu
unsure yang paling penting dalam proses belajar adalah apa yang dibawa individu
ke dalam situais belajar. Artinya segala sesuatu yang kita ketahui sangat
menentukan keluasan pengetahuan dan informasi yang akan kita pelajari.
Para
ahli psikologi kognitif memandang bahwa kemampuan kognisi seseorang mengalami
tahapan perkembangan. Tahap-tahap perkembangan kognitif tersebut menggambarkan
kemampuan berpikir seseorang sesuai dengan usianya. Piaget (Woolfolk, 206:33)
membagi tahapan perkembangan kognitif dari usia anak sampai dewasa menjadi
empat tahap sebagai berikut:
a)
Tahap
sensosrimotor (0-2 tahun), tingkah laku anak pada tahap ini dikendalikan oleh
perasaan dan aktivitas motorik. Anak belajar melalui indranya dan dengan cara
memanipulasi benda-benda.
b)
Tahap
praoperasional (2-7 tahun). Tahap ini dibagi ke dalam dua fase , yaitu:
1)
Subtahap
fungsi simbolik (2-4 tahun) adalah, periode egosentris yang sesungguhnya, anak
mampu mengelompokkan dengan cara yang sangat sederhana.
2)
Subtahap
fungus intuitif (4-7), anak secara perlahan mulai berpikir dalam bentuk kelas,
menggunakan konsep angka, dan melihat hubungan yang sederhana.
c)
Tahap
operasi konkret (7-11 tahun), mampu memecahkan masalah konkret, mengembangkan
kemampuan untuk menggunakan dan memahami secara sadar operasi logis dalam matematika,
klasifikasi dan rangkaian.
d)
Tahap
operasi formal (11 tahun-dewasa), mampu memahami konsep abstrak (kemampuan
untuk berpikir tentang ide, memahami hubungan sebab akibat , berpikir tentang
masa depan, dan mengembangkan serta menguji hipotesis).
Berdasarkan
teori perkembangan kognitif dari piaget, guru mempunyai peranan dalam proses
belajar mengajar sebagai berikut:
a.
Merancang
program, menata lingkungan yang kondusif , memilih materi pelajaran, dan
mengendalikan aktivitas murid untuk melakukan inkuiri dan interaksi denagn
lingkungan
b.
Mendiagnosis
tahap perkembangan murid, menyajikan permasalahan kepada murid yang sejajar
dengan tingkat perkembangannya.
c.
Mendorong
perkembangan murid kea rah perkembangan berikutnya dengan cara memberikan
latihan, bertanya dan mendorong murid untuk melakukan eksplorasi (Y. Suyitno
2007:101-102)
2. Teori Psikologi Behavioristik
Teori Psikologi Behavioristik
disebut juga Stimulus-Respons Theory(S-R).
Kelompok ini mencakup tiga teori, yaitu S-R Bond, conditioning, dan reinforcement.
Kelompok teori ini berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak
meiliki/membawa apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh
factor-faktor yang berasal dari lingkungannya. Teori S-R Bond (stimulus-respons) bersumber dari psikologi
koneksionisme atau teori asosiasidan merupakan teori pertama dari rumpun
behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tundup pada hukum
stimulus-respons atau aksi-reaksi. Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah
conditioning. Tokoh utama dari teori ini adalah John B. Watson, terkenal dengan
percobaan conditioning pada anjing. Belajar atau pembentukan hubungan antara
stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Teori ketiga adalah
reinforcement dengan tokoh utamanya C.L.Hull. teori ini berkembang dari teori
psikologi , reinforcement merupakan perkembangan lanjutan dari teori S-R Bond
dan conditioning. Kalau pada teori conditioning, kondisi diberikan pada
stimulus, maka pada teori reinforcement kondisi diberikan pada respons. Karena
anak belajar sungguh-sungguh (stimulasi) selain ia menguasai apa yang diberikan
(respons) maka guru memberikan nilai tinggi dan hadiah.
Peranan
guru dalam proses belajar mengajar berdasarkan teori psikologi behavioristik
adalah sebagai berikut:
a.
Mengidentifikasi
perilaku yang dipelajari dan merumuskannya dalam rumusan yang spesifik.
b.
Mengidentifikasi
perilaku yang diharapkan dari proses belajar.
c.
Mengidentifikais
reinforce yang memadai.
d.
Menghindarkan
perilaku yang tidak diharapkan dengan jalan memperlemah pola perilaku yang
dikehendaki (Y. Suyitno, 2007:103)
3. Teori psikologi humanistic
Berbeda
dengan teori belajar behavioristik, teori humanistic menolak proses mekanis
dalam belajar, karena belajar adalah suatu proses mengembangkan pribadi secara
utuh. Bertentangan dengan teori behavioristik yang lebih menekankan partisipasi
aktif guru dalam belajar, peranan guru menurut teori belajar behavioristik
adalah sebagai pembimbing, sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan kepada
siswa dalam belajar. Menurut Carl R. Rogers, peran guru sebagai fasilitator
dapat dijabarkan sebagai berikut:
a)
Membantu
menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap belajar.
b)
Membantu
siswa mengklasifikasi tujuan belajar, dan guru memberikan kesempata secara
bebas kepada siswa untuk menyatakan apa yang hendak dan ingin mereka pelajari.
c)
Membantu
siswa mengembangkan dorongan dan tujuannya sebagai kekuatan untuk belajar.
d)
Menyediakan
sumber-sumber belajar , termasuk juga menyediakan dirinya sebagai sumber
belajar bagi siswa. (Y. Suyitno,2007:104)
3. Landasan
Sosiologi Pengembangan Kurikulum
(TIM pengembangan
MKDP, 2011: hal. 36-37) Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah
asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam
pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada
landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan
baik informal, formal, maupun nonformal dalam lingkungan masyarakat,dan
diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan
masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan
titik tolak dalam melaksanakan pendidikan.
Dipandang
dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi
warga mesyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan
berdasarkan pandangan antropologi, pendidikan adalah “enkulturasi” atau
pembudayaan. “Dengan pendidikan, kita kita tidak mengharapkan muncul
manusi-manusia yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang
lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakat. Oleh karena itu,
tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi,
karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut“ (Nana Syaodih
Submadinata, 1997:58). Untuk menjadikan peserta didik agar menjadikan warga
masyarakat yang diharapkan maka pendidikan memiliki peranan penting, karena itu
kurikulum harus mamapu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja
sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan dimasyarakat dan mampu
meningkatkan harkat dan mertabatnya sebagai makhluk yang berbudaya.
Pendidikan
adalah proses sosialisasi melaui interaksi insani menuju manusia yang
berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia,
dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan
dirinya menjadi manusia.
a.
Masyarakat
dan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011:
hal. 37-39) Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan
mereka sendiri kedalam kelompok-kelompok berbeda, atau suatu kelompok individu
yang terorganisasi yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dangan
kelompok atau masyarakat lainnya. Menurut Daud Yusuf (1982), terdapat tiga
sumber nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses
pendidikan, yaitu: logika, estetika, dan etika. Logika adalah aspek pengetahuan
dan penalaran, estetika berkaitan dengan aspek emosi atau perasaan, dan etika
berkaitan dengan aspek nilai. Ilmi pengetahuan dan kebudayaan adalah nila-nilai
yang bersumber pada logika (pikiran). Sebagai akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia,
maka kehidupan manusia semakin luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup
pun semakin tinggi. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai progranm pendidikan
harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan msyarakat. Untuk dapat menjawab
tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja,
melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksaannya. Oleh karena itu,
guru sebagai pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi
perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan
berguna bagi kehidupan siswa dimasyarakat.
Penerapan teori, prinsip, hukum,
dan konsep-konsep yang terdapat dalam semua ilmu pegetahuan yang ada dalam
kurikulum, harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat,
sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya.
Pengembangan kurikulum hendaknya memerhatikan kebutuhan masyarakat dan
perkembangan masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963), Tanerr dan Tanerr (1984)
menyatakan bahwa tuntutan masyarakat
adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun Light dan Keller
(1997) memaparkan tujuan fungsi sosial pendidikan, yaitu:
1)
Mengajar
keterampilan.
2)
Mentransmisikan
budaya.
3)
Mendorong
adaptasi lingkungan.
4)
Membentuk
kedisiplinan.
5)
Mendorong
bekerja berkelompok.
6)
Meningkatkan
perilaku etik.
7)
Memilih
bakat dan memberi penghargaan presentasi
Pengembangan
kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis dan mengglobal.
Akan tetapi, pengembangan kurikulum juga harus ditentukan pada pengembangan
individu dan keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Sangatlah
penting memerhatikan faktor karakteristik masyarakat dalam pengembangan
kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan
masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK, dan kebutuhan
yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses
pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat diperlukan kurikulum yang landasan pengembangannya
memerhatikan faktor perkembangan masyarakat.
b.
Kebudayaan
dan Kurikulum
(TIM pengembangan MKDP, 2011:
hal. 39-42) Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan,
cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang
telah disepakati oleh msyarakat. Daoed Yusuf (1981) mendefenisikan kebudayaan
sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan
(etika) serta peresaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan kepribadian
manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, hubungan manusia dengan alam,
dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih rinci, kebudayaan
diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
1)
Ide,
konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini
bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat
ditempat kebudayaan itu berada.
2)
Kegiatan,
yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut
sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia bersifat konkret, bisa
dilihat, dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud
kebudayaan yang pertama. Artinya, sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia
merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah
dimilikinya.
3)
Benda
hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya
manusia dimasyarakat. Oleh karena itu, wujud kebudayaan yang ketiga ini adalah
produk dari wujud kebudayan yang pertama dan kedua.
Faktor
kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan
pertimbangan:
1)
Individu
lahir takberbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/
lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/ lembaga pendidikan mempunyai
tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah
satu alat yang disebut kurikulum
2)
Kurikulum
pada dasarnya harus mengakomodasi aspek- aspek sosial dan budaya. Aspek
sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat
beragam, seperti masyarakat industri, pertanian, nelayan, dan sebagainya.
Pendidikan disekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar
dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi denagn anggota masyrakat
lainya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai salah satu alat untuk
mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum
seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.
Gagasan pemerintah untuk
merealisasikan pengembangan kurikulum muatan lokal tersebut yang dimulai pada
sekolah dasar, telah diwujudkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI No.0412/U/1987 Tanggal 11 Juli 1987 tentang Penerapan Muatan
Lokal Sekolah Dasar kemudian disususl dengan penjabaran pelaksanaannya dalam
Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah No.173/C/Kep/M/1987
Tanggal 7 Oktober 1987. Dalam sambutannya Mendikbud menyatakan: “Dalam hal ini
harus diingat bahwa adanya ‘muatan lokal’ dalam kurikulum bukan bertujuan agar
anak terjerat dalam lingkungannya semata-mata. Semua anak berhak mendapat
kesempatan guna lebih terlibat dalam mobilitas yang melampaui batas
lingkunganya sendiri”(Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000:274).
Adapun yang dimaksud dengan
muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyimpanannya
dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya
serta kebutuhan daerah. Yang dimaksud dengan isi adalah meteri pelajaran atau
bahan ajar yang dipilih dari lingkungan dan dijadikan program untuk dipelajari
siswa dibawah bimbingan guru. Sedangkan media penyimpanan adalah metode dan
berbagai alat bantu penbelajara yang digunakan dalam menyajikan isi muatan
lokal yang diambil dari dan menggunakan sumber lingkungan yang dekat dengan
kehidupan peserta didik. Lingkungan sosial dan budaya yang terdapat dalam pola
kehidupan daerah karena keanekaragamannya disederhanakan dan diklsifikasikan
menjadi delapan kelompok yaitu: (1) perikanan darat dan laut, (2) peternakan,(3)
persawahan,(4) perladangan dan perkebunan, (5) perdagangan termasuk di dalamnya
jasa, (6) industri kecil termasuk di dalamnya indusrti rumah tangga, (7)
industri besar, dan (8) pariwisata.
Contoh kurikulum muata lokal yang
saat ini sudah dilaksanakan disebagian besar sekolah adalah Mata Pelajaran
Keterampilan, Kesenian, dan Bahasa Daerah.
Tujuan pengembangan kurikulum
muatan lokal dapat dilihat dari kepentingan nasional dn kepentingan peserta
didik. Dalam hubungannya dengan kepentingan nasional muatan lokal bertujuan :
1)
Melestarikan
dan mengembangkan kebudayaan yang khas daerah.
2)
Mengubah
niali dan sikap masyarakat terhadap lingkungan ke arah yang positif.
Jika dilihat dari sudut
kepentingan peserta didik pengembangan kurikulum muatan lokal bertujuan:
1)
Meningkatkan
pemahaman peserta didik terhadap lingkungannya (lingkungan alam,sosial,dan
budaya).
2)
Mengakrabkan
peserta didik dengan lingkungannya sehingga mereka tidak asing dengan
lingkungannya.
3)
Menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang
ditemukan dilingkungan sekitarnya.
(Umar
Tirtarahardja dan La Sula, 2000:276)
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1.
Pengertian
Filsafat
Istilan
filsafat adalah terjemahan dari bahasa inggris “phylosophy” yang berasal dari perpaduan dua kata Yunani Purba “philien” yang berarti cinta (love), dan “shopia” (wisdom) yang
berarti kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta
kebijaksanaan atau love of wisdom
(Redja Mudyahardjo,2001:83).
2.
Pengertian
Psikologis Perkembangan
Psikologi
perkembangan dapat diartikan sebagai berikut.”....That branchof phychology which studies processes of pra and post natal
growth and the maturation of behavio.” Artinya “Psikologi perkembangan
merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu,
baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan prilaku.”(J.P.
Chaplin, 1979). Sementara itu, Ross Vasta, dkk.(1992) mengemukakan bahwa
psikologi perkembangan adalah “ Cabang psikologi yang mempelajari perubahan
tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai
masa konsepsi sampai mati.”
3.
Pengertian
Sosiologi
Landasan
sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari
sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa
pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak
berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun
nonformal dalam lingkungan masyarakat,dan diarahkan agar mampu terjun dalam
kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan
segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam
melaksanakan pendidikan.
3.2 SARAN
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masaih banyak terdapat kekurangan.
Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna perbaikan
makalah dimasa yang akan datang.
DAFTAR
RUJUKAN
Dimyati, dan Mujiono. 2013. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Hamalik , Omar. 2011. Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara
Sanjaya
, Wina. 2010. Kurikulum dan
pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Group.
Tim
Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran Jurusan Kuikulum dan Teknologi
Pendidikan. 2011. Kurikulum dan
pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar